Bidik-berita.com Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak sudah dilaksanakan Rabu 27 Juli 2024 yang lalu, menurut quick count atau hitungan cepat sudah terlihat siapa yang bakal menjadi kepala daerah baik tingkat Provinsi, Kabupaten dan kota. Sekalipun dalam Pilkada kali ini ditengarai partisipasi masyarakat dalam pemilu sangat rendah
Seperti Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang turut memilih sekitar 55 % warga masyarakat, tentu kondisi ini menjadi tanda tanya besar. Apakah masyarakat sudah mulai bosan dengan politik ini atau karena ada cawe-cawe pihak penguasa lalu masyarakat merasa bahwa pemilu hanya sekedar tontotan demokrasi yang hanya menghabiskan anggaran, namun toh hasilnya sudah disetting dan siapa pemenangnya. Jika kondisi ini yang terjadi lalu buat apa ikutan memilih.
Sekalipun ada salah satu media nasional yang memasang headline bahwa pemilu Indonesia sudah semakin dewasa tetapi aroma ikut campurnya penguasa masih bau menyengat.
Tetapi selain keikutsertaan masyarakat yang cenderung menurun ada yang sebetulnya menjadi perhatian bersama, bahwa tujuan Pilkada adalah memilih pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya. Pilkada bukan ladang untuk mencari pekerjaan bagi sang kepala daerah. Maka menjadi sebuah pertanyaan besar apakah rakyat kita ini serius memilih pemimpin kepala daerah yang bersih dan menolak korupsi karena hanya pemimpin yang bersih dan anti korupsi yang mampu membawa manfaat bagi rakyatnya.
Tentu keseriusan rakyat yang tegas menolak korupsi ini penting karena biang kerok kemiskinan dan ketertinggalan sebagian masyarakat kita dikarenakan di korupsi pejabatnya. Laporan Indonesia corruption watch (ICW) tahun 2022-2023 mencatat ada sejumlah 61 kepala daerah yang ditangkap KPK. Ada pula beberapa menteri yang juga ditangkap karena korupsi, belum lagi beberapa pejabat negara lainnya. Kondisi ini seharusnya membuka mata semua rakyat atas adanya ancaman korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin atau kepada daerah.
Momentum Pilkada ini sebetulnya bisa digunakan rakyat untuk menyaring para kepala daerah yang terindikasi terlibat korupsi seperti ada calon yang pernah dipanggil oleh aparat penegak hukum atau ada calon yang menggunakan cara-cara kotor dengan bermain money politik baik secara uang tunai maupun pembagian sembako (bansos).
Rakyat harusnya berani menolak money politik dan memilih orang yang bersih, namun persoalan yang terjadi banyak rakyat justru menutup mata atas semua yang terjadi itu. Lalu mereka memilih seorang calon kepala daerah yang jelas-jelas sudah pernah diperiksa pihak penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun lembaga anti rasuah atau KPK.
Lalu memilih kepala daerah karena dapat bansos dan juga uang, melihat realita ini menjadi tanda tanya besar. Benarkah rakyat kita ini menghendaki tidak adanya korupsi atau jangan-jangan malah tidak peduli. Kalau rakyat tak peduli tak hertan jika persolan pemberantasan korupsi itu tidak akan pernah selesai dan justru makin berkembang lantaran rakyatpun masih tidak peduli.
Kekurang pedulian rakyat terhadap praktek korupsi inilah jika rasa keadilan dan kesejahteraan itu tak kunjung tercapai. Lalu jangan mengeluh kalau rakyat kemajuan dan tak kunung tercapai. Dan jangan merasa hanya sebatas dipakai komodite saat hajatan politik saja. Lalu kalau kemudian ada para calon menganggap bagi mereka cukup diagikan bansos dan uang toh akan memilih kembali.
Paling kalaupun lagi apes oknum birokrat itu ditangkap oleh penegak hukum, tetapi tidak menjadi soal karena dengan hasil yang diperolehnya akan mudah mengembalikan nama baiknya. Bukan rahasia lagi banyak mantan narapida kemudian memberikan bantuan kepada para rohaniawan lalu membangun rumah-rumah ibadah. Dengan apa yang dilakukan mudah mendapat pengakuan kembali dan segera memulihkan nama baiknya karena dianggap sebagai petobat yang dermawan.
Penulis : Yusuf Mujiono [Ketum Pewarna Indonesia/jurnalis Majalah GAHARU]