banner 728x250

PERKEMBANGAN TOSAN AJI DITINJAU DARI AGAMA DAN KEBUDAYAAN

banner 120x600
banner 400x130

Pengkhotbah 1:9 (TB) Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

  • Pertama, persoalan keris sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia, dan telah diakui UNESCO.
  • Kedua, pergunjingan yang belakangan marak menyangkut klaim budaya oleh bangsa lain.
  • Ketiga, peran kekristenan dalam pekabaran Injil yang bersangkut paut dengan kebudayaan dan hasil-hasilnya, semisal atas keris.

Kebudayaan berasal dari Allah dijalankan sesuai tata nilai dari Allah dan dan harus kembali kepada Allah, itulah esensi iman Kristen. Budaya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Allah, baik asal mulanya, prosesnya hingga kepada tujuan akhirnya.

banner 325x300

Salah satu sikap gereja yang benar terhadap kebudayaan,yaitu…

  • Menanggapi atau mengambil sisi positif dari kebudayaan tersebut dan membuang sisi negatifnya tanpa menghilangkan nilai kebudayaan tersebut
  • Tujuan kebudayaan yang utama adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan …

Agama dan budaya merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. “Karena ketika nilai-nilai agama membumi maka membutuhkan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat

Mengenal Tosan Aji – Senjata Pusaka Tradisional

Merujuk pada segala macam senjata tradisional, yang terbuat dari besi dan dianggap sebagai Pusaka. Secara umum tosan aji diciptakan tidak hanya sebagai senjata tapi juga sebagai sifat kandel bagi pemiliknya, yaitu sesuatu yang dapat membangkitkan keberanian, keyakinan bagi pemilik tosan aji tersebut (membangkitkan sugesti)

Tosan aji diciptakan untuk berbagai kebutuhan, contoh ada keris yang bisa dipergunakan untuk membantu pertanian, untuk kekuasaan dan lain sebagainya tergantung energi dari sang pencipta keris untuk apa keris itu dibuat. Makin tinggi tingkat spiritual dari sang empu makin hebat pula kekuatan keris yang diciptakan.

Namun sekarang ini, tidak semua keris diburu karena mempunyai kekuatan Mistis. Para kolektor keris berlomba lomba mengkoleksi keris, karena bentuk dan nilai sejarahnya. Saat ini menyukai keris sebagai pendukung edukasi ketimbang nilai magisnya.

Senjata seperti keris sebenarnya juga ada di berbagai tempat lain seperti Yunani yang mempunyai belati, lalu ada samurai dari jepang namun untuk jenisnya hanya ada beberapa saja. Sedangkan di Indonesia utamanya di jawa keris sendiri ada bermacam macam mulai dari keris lurus, keris liuk 3 , liuk 5 sampai liuk 13 dan bahkan ada yang lebih lebih

Zaman dahulu dijadikan sebagai metode pembelajaran, karena pada waktu itu orang tidak suka budaya baca tulis, orang lebih suka budaya berkumpul. Sehingga para empu pada masa itu , menitipkan petuah petuahnya pada ricikan ricikan yang ada dikeris itu. Jadi keris itu adalah filsafat hidup.

Orang luar negeri saja suka dengan keris, kenapa kita sebagai bangsa sendiri kurang menghargainya“

SIMBOLISASI KERIS

Keris mengandung ajaran dalam simbol-simbol, sebagai sebuah karya merupakan penggambaran dari simbol-simbol yang merupakan kaca benggala pola tatanan hidup dan pemahaman Ketuhanan.

Bentuk dhapur yang berbagai jenis adalah pengejawantahan pesan:

  • Dhapur atau bentuk keris yang condong (condong leleh) sebagai penggambaran manusia yang membungkukkan badannya – manembah (menyembah kepada Tuhan).
  • Bentuk lurus merupakan sebuah tuntunan untuk bertakwa kepada Tuhan
  • Bentuk berlekuk atau keluk seperti asap dupa yang berkeluk-keluk menuju kearah atas sebagai manifestasi menuju kemanunggalan terhadap sang Maha Kuasa.

Ratusan bentuk dhapur sangat dapat mencerminkan apa yang dapat diharapkan sebagai sebuah keutamaan berbudi luhur:

  • Dhapur Brojol misalnya, adalah sebuah pengejawantahan keinginan manusia untuk dapat lancar (mbrojol) dalam hal menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya.
  • Lalu keris lurus yang dibahasakan dengan sebutan keris berdhapur ”bener” adalah sebuah simbolisasi tantangan untuk dapat mempertimbangkan segala sesuatu yang dialaminya dengan jiwa yang lurus (bener – pener).

SIMBOLISASI DAPUR KERIS

Ada beberapa pokok yang perlu dipegang antara lain dhapur Pandawa (luk 5) adalah simbol agar senantiasa manusia berwatak ”satria-pinandita” seperti pendawa lima yang dihayati sebagai sebuah rangkuman dalam hal kebijaksanaan bertindak.

Tuntunan untuk menjadi tokoh pemimpin yang amat sangat religius sampai-sampai di dalam kisah-kisah pewayangan digambarkan bagaikan seorang resi begawan (pinandita) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum/petunjuk Gusti Allah (sinisihan wahyu), dengan selalu bersandar hanya kepada kekuasaan Gusti Allah, bangsa ini diharapkan akan mencapai zaman keemasan yang sejati.

Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai kepemimpinan diharapkan dapat selalu dipegang teguh sebagai seorang yang berwatak ’kesatria’ yang pemberani, berani marah, berani menegur, berani merombak dan berani bertindak serta berjiwa religius.

SIMBOLISASI PEMBABARAN/PEMBUATAN KERIS

Ketika sang empu mewasuh besi (ditempa untuk membersihkan besi) sekian ribu kali pukulan sebagai perlambangan ”tapisan gebagan” membersihkan diri. Manusia senantiasa harus eling dan selalu membersihkan diri untuk berbuat sesuai nurani yang positif.

Apa yang disebut hasil bakal keris (kodokan) adalah sebuah pemahaman bahwa manusia diberi wadah dan manusia diberi kesempatan karena memiliki akal pikiran untuk dapat digunakan menuju kepada kesucian dengan perilaku berbudi luhur.

Maka empu kita yang menganut maguru alam selalu melakukan sebuah penyatuan atau dalam bahasa Jawa ’diwor’ – ’dimor’ yang kemudian disebut ’pamor’. Penyatuan dirinya terhadap api, maka sang empu seolah ikut beresonansi sebagai api, disinilah terjadi sebuah kekuatan ”Illahi” dimana sang empu menjadi sebuah media Allah.

Penyatuan besi (pasir bumi) dengan benda angkasa (iron meteorite) telah dilakukan oleh mereka (para empu) sebagai sebuah perlambangan penyatuan Ibu Bumi dan Bapa Akasa. Dari langit dan dari bumi disatukan dalam tunggku api yang dikendalikan oleh resonansi penyatuan empu bersama api (kemanunggalan dalam keadaan berKetuhanan).

Maka keris sebagai karya adalah merupakan ciptaan Tuhan melalui tangan manusia. Tak heran jika akhirnya diagungkan dan disakralkan. (Dang dahana bagni niraweh sara sudarma).

Prosesi pembuatannya yang selalu menyebut mantera berulang adalah seperti halnya trend pada masa kini aliran ’Gerakan New Age’ yang berkembang berupa religius barat yang meniru timur sebagai gerakan spiritual yang berkembang pada paruh kedua abad ke-20.

‘Gerakan New Age’ berputar di sekitar “menggambarkan kesahihan spiritual metafisik tradisi di Timur dan kemudian menanamkan segala sesuatu menjadi kekuatan dengan pengaruh dari self-help seperti halnya pembacaan mantera berulang-ulang, motivasi psikologi, pencapaian kesehatan holistik, parapsikologi, penelitian kesadaran dan hingga pengkajian fisika kuantum”.

Hal ini bertujuan untuk menciptakan “spiritualitas tanpa batas atau dogma” sehingga dapat berdiri sebagai ajaran yang inklusif dan pluralistik.

Satu lagi ciri utamanya adalah memegang “pandangan dunia holistik,” demikian halnya seperti empu sebagai manusia yang menekankan bahwa P
Pikiran, tubuh dan roh untuk saling berhubungan dalam kesatuan/kemanunggalan dan persatuan seluruh alam semesta (manunggaling kawula Gusti).

Maka dari itu ada sebutan ”Empu adalah pancer atau titik temu kemanunggalan antara yang tinemu ing nalar dan yang tan tinemu ing nalar” artinya bahwa dipercaya atau tidak dunia perkerisan memasuki keadaan penelaahan transcendental antara nalar dan tidak ketemu nalar dengan obyek yang diciptakan oleh utusan itu (empu).

Maka jika keris dianggap sakti, secara turun temurun baik itu melewati periode megalitik, hingga agama-agama jelas sekali bahwa keris tetap universal dari jaman ke jaman.

Hakekat dari apa yang terkandung merupakan makna penyempurnaan dalam perjalanan olah spiritual manusia menuju kesempurnaan hidupnya yang tercermin dari kekuatan prosesi pembuatan keris tersebut.

SIMBOLISASI BAGIAN-BAGIAN KERIS

Menelaah tiga bagian keris (Peksi – Gonjo – Wilah), menjadi sebuah pemahaman simbol dari Yoni sebagai asal muasal atau alam Purwa, dan Gonjo atau Linggam yang melahirkan pemaknaan alam madya dan selanjutnya menuju ke Pucuk bilah sebagai pemaknaan alam wusana.

Yaitu sebagai penghayatan manusia sebelum berwujud, masih dalam alam purwa, yang perlu di hayati dengan merenungkan dari mana sebenarnya manusia ini berasal, kemudian dalam alam madya manusia bergumul dalam kehidupan masa kini yang harus dilalui dengan perenungan dan tindakan dengan segala kawicaksanan dan berbudi, hingga menuju kematian yang sempurna.

Orang Jawa lebih suka menelaah hal ini dengan beberapa anggapan bahwa manusia selayaknya berusaha menghayati semesta beserta isinya. Manusia diberi prabot komplit (lahir dan batin) oleh Tuhan dan dimana disadari derajat manusia lebih tinggi dari hewan.

Manusia beradab adalah manusia yang berbudaya (culture men). Dalam falsafah Jawa inti dari peradaban itu secara bertahap dan naluriah digerakkan oleh kemauan manusia (niat) untuk:

>>Titi mangerti pranataning wiji (mengerti atau berusaha mengerti tentang asal usul manusia),

>>Titi mangerti pranataning dumadi (mengerti atau berusaha mengerti tatanan yang tergelar pada jagat raya),

>>Titi mangerti pranataning pambudi (mengerti atau berusaha mengerti tatanan hidup yang berbudi),

>>Titi mangerti pranataning pakarti (mengerti atau berusaha mengerti tatanan dari pekerti manusia).

Kalau sudah mengerti ungkapan-ungkapan tersebut, maka semua yang ada di dunia ini akan menjadi alat manusia (gumelaring jagat dadi pirantining manungso).

Maka prosesi keris yang diwasuh (dibersihkan dengan tapisan gebagan) kemudian dibentuk sedemikian rupa memuat pesan-pesan yang tak lepas dari nilai-nilai luhur untuk menjadikan kita para penggemar keris, penghayat keris memiliki pegangan yang bukan berasal dari kekuatan Jin, setan atau pengertian yang menjerumuskan tetapi merupakan tauhid dari apa yang terkandung secara falsafati.

Dengan demikian memang sangat perlu penghayat keris mulai merangkum nilai-nilai keutamaan untuk pembangunan manusia berbudi luhur dan ikut memantapkan pembangunan karakter bangsa, yang sangat dibutuhkan pada masa kini. Mengingat konstelasi politik yang berkecamuk di negeri ini tampak sekali disebabkan pula oleh karena adanya krisis moral dan hilangnya ajaran atau pameling untuk berbudi luhur.

Oleh; Abah Daniel (dalam rangka pameran dan jamasan pusaka di ndalem Benawan keraton Yogyakarta).

banner 728x90
banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *